Beberapa tragedi terjadi begitu tiba-tiba, begitu brutal, sehingga tidak hanya menghancurkan kehidupan, tetapi juga seluruh narasi. Penembakan di padang rumput Baisaran, Pahalgam, pada tanggal 22 April adalah salah satu momen tersebut. Sebanyak 26 wisatawan — orang biasa dari seluruh India, bersama dengan seorang pengunjung dari Nepal — kehilangan nyawa mereka akibat tindakan kekerasan yang tampaknya hampir seperti abad pertengahan dalam kekejamannya. Lebih dari 20 orang lainnya terluka. Bagi Kashmir, sebuah wilayah yang telah dengan hati-hati menyusun citra baru tentang perdamaian dan kemakmuran, pembantaian itu merupakan pukulan telak.
Para saksi mata berbicara tentang orang-orang bersenjata yang muncul dari barisan pepohonan dan menembak tanpa pandang bulu. Kepanikan melanda padang rumput, keluarga-keluarga berhamburan, tak berdaya melawan peluru. Dalam kekacauan itu, para penyerang menghilang kembali ke dalam hutan, hanya menyisakan keheningan dan mayat-mayat.
Dalam beberapa jam, sebuah kelompok yang menamakan dirinya The Resistance Front melangkah maju untuk mengklaim tanggung jawab, memutarbalikkan pertumpahan darah sebagai protes politik terhadap kebijakan pemukiman India. Namun, apa pun alasan yang mereka kemukakan, hal itu tidak banyak menutupi kengerian yang dialami warga sipil yang datang hanya untuk mencari liburan yang tenang.
Tidak hanya nyawa yang tidak bersalah yang hilang, tetapi bagi Kashmir, keuntungan yang diperoleh selama beberapa tahun terakhir — keuntungan yang dibangun dengan susah payah, dari wisatawan ke wisatawan — telah dipertanyakan. Sopir taksi, pegawai hotel, pemilik kuda poni: Orang-orang yang mata pencahariannya terkait langsung dengan pariwisata, turun ke jalan untuk berkabung dan berunjuk rasa. Di desa-desa selatan, prosesi pemakaman berubah menjadi demonstrasi yang muram. Kemarahan membara pelan di bawah duka.