Harianjogja.com, JOGJA—Wacana memperluas wewenang Lembaga Kejaksaan dalam RUU KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) menimbulkan prokontra dari berbagai pihak. Akademisi mengkiritik wacana penambahan kewenangan di korps Adiyaksa tersebut menjadikannya sebagai lembaga punya banyak potensi penyalahgunaan wewenang.
Sebagaimana diketahui ketentuan Pasal 28 RUU KUHAP menyebutkan jaksa bisa meminta dilakukan penyidikan, penangkapan, hingga penahanan. Serta Pasal 30, Jaksa juga bisa meminta penghentian penyidikan yang dapat dilakukan dengan persetujuan dari jaksa.
BACA JUGA : Polri Ungkap Kasus Penyalahgunaan LPG Bersubsidi di Jabar dan Jateng, Begini Modusnya
Ahli Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Arief Setiawan menilai perluasan kewenangan dikhawatirkan menimbulkan lembaga tersebut menjadi memiliki banyak berpeluang untuk penyalahgunaan. Hal ini tidak lepas dari banyaknya kasus kewenangan yang disalahgunakan di negeri ini.
“Karena setiap kewenangan cenderung untuk disalahgunakan, Kekuatan cenderung korup,” katanya dalam diskusi bertajuk Dominus Litis RUU KUHAP: Potensi Munculnya Lembaga Super Body Baru di UAD, Kamis (13/3/2025).
Arief menjelaskan KUHAP seharusnya justru mengatur tentang pembatasan kewenangan, bukan malah memperluasnya. Mengingat pembatasan dan pengawasan penggunaan kewenangan penegak hukum pidana hanya bisa dilakukan jika hukum acara pidananya memang mempunyai kemampuan untuk mengawasi.
Sehingga penggunaan kewenangan tersebut benar-benar hanya untuk tujuan mencari dan menemukan kebenaran melalui proses peradilan yang adil atau proses hukum. “Menurut hemat kami pembaharuan hukum acara pidana, paling penting adalah bagaimana hukum acara pidana itu mengatur pengawasan terhadap penggunaan kewenangan yang dimiliki aparat penegak hukum pidana,” katanya.
BACA JUGA : Tok! Hakim Gugurkan Permohonan Praperadilan Hasto Kristiyanto
KUHAP memang menjadi landasan yang memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum, baik kewenangan bersifat lembut seperti pemanggilan seseorang untuk diperiksa, maupun bersifat keras, semisal pemanggilan dengan upaya paksa. Ketika tidak dikendalikan maka kewenangan itu bisa disalahgunakan untuk suatu kepentingan.
“Senang atau tidak senang akhirnya siapa pun bisa dipaksakan untuk dilakukan satu tindakan tertentu oleh aparat penegak hukum yang memerlukan. Kalau power itu tidak dikendalikan, sangat berbahaya,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Berita Google