Harianjogja.com, JOGJA—Pelajar yang berminat pada pelajaran sains dianggap menurun. Hal ini berdasarkan pernyataan Direktur Diseminasi dan Pemanfaatan Sains dan Teknologi (Minatsaintek) Kementerian Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi (Kemendiktisaintek), Yudi Darma.
Menurutnya, banyak murid dan mahasiswa-mahasiswi yang tidak lagi berminat belajar ilmu seperti matematika, fisika, kimia, dan biologi, terutama fisika. “Sains teknologi itu mungkin agak kaku ya, jadi orang belajar fisika mungkin orang pada malas. Malah sekarang mahasiswa, ini maaf-maaf nih informasi dari teman-teman dekan MIPA, peminat MIPA itu menurun sekarang,” kata Yudi, pada akhir Februari 2025 lalu.
Berdasarkan hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2022, peringkat pelajar Indonesia dalam kemampuan sains mengalami kenaikan sebanyak enam posisi dibandingkan tahun 2018. Meskipun peringkat meningkat, skor rata-rata kemampuan sains siswa Indonesia justru mengalami penurunan sebesar 13 poin menjadi 383. Angka ini berada di bawah rata-rata global. Penurunan skor ini menunjukkan bahwa meskipun ada peningkatan peringkat, tantangan dalam meningkatkan kualitas pendidikan sains di Indonesia tetap signifikan.
BACA JUGA: MTs N 6 Bantul Raih Juara 1 Lomba Sains Terintegrasi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Rektor Universitas Pertamina, Wawan Gunawan, membenarkan bahwa saat ini minat calon mahasiswa terhadap jurusan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) dan Sains sedang mengalami penurunan. Di Universitas Pertamina, lanjut Wawan, hanya terdapat satu program studi (prodi) sains murni berupa jurusan Kimia. Prodi tersebut berada di bawah Fakultas Sains dan Ilmu Komputer.
Prodi ini juga menghadapi tantangan dalam menarik minat mahasiswa baru. “Di kampus kami, satu-satunya program studi sains murni, ya cuma kimia. Bisa mendapatkan mahasiswa di jurusan ini saja sudah alhamdulillah. Itu juga kadang harus dibujuk dengan beasiswa. Jadi soal penurunan itu fakta,” katanya.
Untuk meningkatkan minat calon mahasiswa terhadap jurusan sains, khususnya kimia, Wawan mengatakan perlu adanya pendekatan baru dalam cara memasarkan dan memperkenalkan program studi ini. Menurutnya, penyampaian mengenai ilmu sains sebaiknya tidak terlalu menekankan aspek teori atau rumus-rumus yang kompleks, melainkan lebih kepada penerapannya dalam kehidupan sehari-hari dan industri yang sedang berkembang.
“Saran saya, kita harus mengubah cara komunikasi. Jangan hanya menyebutnya sebagai ilmu dasar atau ilmu sains semata. Misalnya, kimia itu mendukung industri kecantikan, yang saat ini sedang tren, atau teknologi pangan dan bidang lain yang relevan,” kata Wawan.
Di Universitas Pertamina, prodi kimia mulai beradaptasi dengan tren industri dengan menambahkan peminatan seperti kimia untuk kecantikan. Perubahan cara berpikir mengenai sains menjadi ilmu yang lebih aplikatif, lanjut Wawan, dapat membantu menarik minat generasi muda untuk tertarik menekuni bidang tersebut. Inovasi dalam institusi perguruan tinggi juga dianggap penting.
Faktor Internal dan Eksternal
Terdapat faktor internal dan eksternal saat minat seorang pelajar menurun dalam hal sains. Hal ini bisa kita lihat, salah satunya menggunakan penelitian berjudul Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Rendahnya Minat Belajar Sains Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri 008 Langgani. Penelitian karya Wahyu Andriani dan kawan-kawan ini publish tahun 2022.
Tujuan penelitian untuk mendeskripsikan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi rendahnya minat belajar sains siswa Sekolah Dasar Negeri 008 Langgini. Jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Subjek penelitian tersebut merupakan murid kelas V Sekolah Dasar Negeri 008 Langgini yang berjumlah 21 siswa.
Alat pengumpulan data yang digunakan berupa lembar observasi dan lembar wawancara sebagai data primer serta beberapa dokumentasi sebagai data pendukung. “Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pengaruh faktor-faktor yang mempengaruhi minat belajar sains murid kelas V Sekolah Dasar Negeri 008 Langgini yaitu rasa senang murid dalam mengikuti pembelajaran sains hanya 42,8% dan 57,1% siswa yang terlihat tidak ceria saat guru menyampaikan akan belajar sains,” tulis dalam laporan.
Perhatian murid terhadap pembelajaran, terlihat dari murid yang fokus dan tidak menghiraukan saat murid-murid lain berlalu-lalang di luar kelas hanya 14,2% dan 85,7% murid tidak fokus pada saat pembelajaran sains berlangsung.
BACA JUGA: UNY Diminta Mengembangkan Ciri Khas Pendidikan yang Memadukan Budaya dan Sains
Keterlibatan murid yang dilihat dari murid yang aktif bertanya jika tidak memahami pembelajaran yang disampaikan oleh guru hanya 19,0% dan 80,9% murid tidak berkeinginan untuk bertanya jika ada materi pelajaran yang tidak dipahami.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pengaruh faktor-faktor yang mempengaruhi minat belajar sains siswa kelas V SDN 008 Langgini meliputi faktor internal yaitu kurangnya rasa senang, perhatian dan kurangnya siswa terlibat terhadap pembelajaran sains. “Faktor eksternal yaitu pembelajaran sains yang monoton, pembelajaran masih terfokus kepada guru, materi pembelajaran yang masih berupa hafalan dan sulit dipahami. Dengan demikian faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya minat belajar sains perlu diperhatikan lagi,” tulisnya.
Pernah Dikenal Unggul
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis & Fakultas Komunikasi dan Diplomasi Universitas Pertamina, Dewi Hanggraeni, bercerita saat dulu studi di Amerika Serikat (AS). Ia mengenang bahwa dulu mahasiswa Asia, termasuk Indonesia, dikenal unggul dalam matematika di kancah internasional.
“Padahal dulu waktu saya sekolah di Amerika, orang-orang Asia itu yang mahasiswa matematika. Bahasa Inggrisnya mungkin susah, tapi matematikanya paling kuat. Jadi kalau yang berhubungan dengan hitungan, kita selalu the best di antara budaya-budaya itu. Sekarang malahan kita kalah,” katanya.
Para akademisi sepakat bahwa perlu ada kesinambungan antara pendidikan jenjang SD, SMP, dan SMA dengan pendidikan tinggi. Akademisi, Rudy Sayoga Gautama Benggolo, menyampaikan harapannya supaya Ujian Nasional (UN) kembali dijalankan. “Sebetulnya kalau kurikulumnya tidak terlalu merdeka seperti kemarin, mungkin kita masih bisa percaya. Tapi kalau terlalu merdeka, salah satu caranya mungkin harus ada model seperti UN supaya siswanya terpacu dan kompetitif,” katanya.
Kurang Menarik dan Aplikatif
Menurunnya minat pelajar pada dunia sains termasuk karena kurang menarik dan aplikatif. Wakil Dekan Bidang Penelitian dan Kerjasama FMIPA UGM, Wiwit Suryanto, menilai sistem pendidikan saat ini masih berfokus pada hafalan rumus dan teori tanpa memberikan pengalaman eksplorasi yang cukup.
“Belum lagi, kurangnya eksperimen dan praktik langsung membuat sains terasa abstrak dan sulit dipahami,” kata Wiwit, akhir Februari 2025 lalu, dikutip dari laman UGM.
Wiwit tidak menampik kenyataan bila kurangnya minat terhadap sains lantaran sains dinilai tidak bersinggungan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Bahkan tidak sedikit murid mempertanyakan manfaat belajar sains, karena sangat jarang dikaitkan dengan teknologi sehari-hari yang bersinggungan hidup mereka, seperti smartphone, internet, atau kendaraan listrik. Belum lagi soal persepsi sains yang membayangkan sains itu ilmu sulit dan hanya untuk orang jenius.
“Ketidakmampuan melihat manfaat langsung dari ilmu sains membuat mereka kehilangan motivasi untuk mempelajarinya. Banyak murid merasa takut terhadap simbol, angka, dan persamaan matematika yang kompleks. Narasi hanya orang jenius yang bisa memahami membuat banyak siswa menyerah sebelum mencoba,” katanya.
Padahal, lanjut Wiwit, Michael Faraday sebagai bapak elektromagnetik itu ternyata bukan jago matematika maupun fisika teori. Ia hanya sangat betah dalam mengotak atik alat eksperimen di laboratorium. Sehingga kurangnya figur inspiratif di bidang sains turut punya andil menurunnya anak muda belajar sains.
Menurutnya, banyak orang tidak tahu tentang siapa Michael Faraday. Sains jarang dipromosikan melalui media populer, sementara profesi di bidang bisnis, seni, dan hiburan lebih banyak mendapat sorotan. “Akibatnya, murid kurang memiliki role model ilmuwan atau inovator yang dapat menginspirasi mereka. Mungkin jaman saya dulu ada Pak Habibie yang begitu saya idolakan seorang teknokrat hebat. Nampaknya kita perlu figur-figur ahli sains yang sering ditampilkan di media,” kata Wiwit.
Jika generasi muda semakin lama tidak berminat pada sains, lanjutnya, akan berdampak pada kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Indonesia sebagai bangsa besar akan terus ketergantungan teknologi pada negara asing. Tanpa memiliki ilmuwan dan insinyur yang kompeten, Indonesia hanya akan menjadi konsumen teknologi, bukan produsen.
“Negara tentu akan semakin bergantung pada teknologi impor, yang dapat menghambat kemandirian dan daya saing nasional,” katanya.
Wiwit mengatakan di era persaingan saat ini, negara-negara maju seperti China, Jepang, Taiwan, Korea dan Amerika Serikat berinvestasi besar-besaran dalam riset sains dan teknologi. Jika generasi muda Indonesia tidak tertarik pada sains, tentu akan membuat semakin tertinggal dalam persaingan global.
Menurutnya, kondisi ini bisa berakibat pada lemahnya daya saing. Bahkan menjadikan negera kita minim memiliki inovasi untuk menyelesaikan masalah nasional seperti penyelesaian soal krisis energi, perubahan iklim, ketahanan pangan, dan mitigasi bencana alam. “Tanpa ilmuwan dan peneliti muda, sulit bagi Indonesia untuk menemukan solusi inovatif bagi masalah-masalah ini”, kata Wiwit.
Wiwit menilai kurikulum saat ini tidak menggiring minat murid mendalami bidang sains. Sistem pendidikan di Indonesia, dinilainya, masih memiliki beberapa kelemahan dalam menarik minat siswa terhadap sains. Disamping terlalu berfokus pada hafalan dan teori, pembelajaran masih menekankan pada rumus dan definisi, bukan eksplorasi dan pemecahan masalah.
Kurang dilakukan pendekatan secara interaktif dan eksperimen.
Laboratorium-laboratorium sains di banyak sekolah kurang memadai yang menjadikan murid tidak memiliki kesempatan untuk melakukan eksperimen secara langsung. “Evaluasi berbasis ujian, bukan pemahaman konseptual. Model ujian masih mengutamakan hafalan, bukan kreativitas dan pemahaman yang mendalam,” katanya.
Melihat kondisi ini, Wiwit berpendapat meningkatkan minat murid mempelajari dan mendalami sains menjadi tantangan bangsa Indonesia kedepan. Ada beberapa solusi, di antaranya mewajibkan pelajaran sains di sekolah dan mengubah cara mengajar dari hafalan ke eksplorasi. Perlu dilakukan peningkatan pembelajaran berbasis eksperimen dan proyek nyata disertai penggunaan teknologi digital seperti simulasi, augmented reality, dan coding interaktif.
Bisa pula dengan memperlihatkan pada murid relevansi sains dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih mengaitkan pelajaran sains dengan teknologi modern yang digunakan para murid. Sesekali, menurutnya, bisa pula mengadakan kunjungan ke industri dan kolaborasi dengan perusahaan teknologi.
“Jika memungkinkan menghadirkan role model agar menginspirasi para siswa. Misal menghadirkan ilmuwan dan inovator Indonesia yang sukses di bidang sains dan teknologi. Mengadakan program mentorship dan seminar inspiratif tentang karier di bidang sains dengan disertai perbaikan kurikulum dan lainnya,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Berita Google