Harianjogja.com, JOGJA—Ada fenomena yang berulang pada masyarakat Indonesia, khususnya dalam transaksi emas. Dosen Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Y. Sri Susilo, mengatakan salah satu kebiasaan masyarakat Indonesia adalah membeli emas sebelum Idulfitri. Namun mereka akan menjual kembali emas itu setelah Idulfitri.
“Pernah kami teliti, banyak yang membeli emas buat mudik dan lain sebagainya, akan dijual lagi setelah lebaran,” kata Sri, Selasa (15/4/2025).
Hal ini membuat toko emas, terutama yang menjual produk dengan kadar karat 75% sering ramai menjelang dan setelah Idulfitri. “[Tujuan membeli sebelum lebaran] entah untuk pamer, entah apa, [tapi mereka mengatakan membeli emas] Untuk merayakan pesta, dan itu hanya sah, “katanya.
Meski belakangan, ramainya toko atau penyedia emas tidak hanya dalam rangka setelah Idulfitri. Sri mengatakan ada fenomena tambahan berupa kondisi makro nasional dan internasional.
Fenomena makro ini misalnya nilai dolar Amerika Serikat yang meningkat, indeks harga saham gabungan Indonesia yang melemah, hingga kebijakan tarif dagang Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Hal tersebut, lanjut Sri, menjadi pendorong masyarakat mengalihkan jenis investasinya. Dari yang sebelumnya investasi di saham, kemudian beralih ke instrumen lain, termasuk membeli dolar dan emas.
“Fenomena ini membuat harga emas naik, membuat orang [yang melihatnya juga] Tertarik, “kata Sri.
Baca juga: Kemendag Ungkap Penyebab Sebagian Pasar Swalayan Tutup
Mayoritas, para pembeli emas merupakan orang yang memang sebelumnya sudah ‘memiliki’ uang. Mereka hanya mengalihkan jenis investasinya saja. Memang saat ini, kata Sri, ada variabel baru berupa media sosial. Kondisi ini berbeda dengan 10 atau 20 tahun lalu. Media sosial memungkinkan masyarakat melihat fenomena ramainya jual-beli emas. Hal tersebut kemudian membuat masyarakat penasaran dan tertarik untuk turut membeli emas.
Golongan masyarakat tersebut, apabila baru pertama kali membeli emas untuk investasi, bisa dianggap sebagai pemain baru. “Ada sebagian kecil yang pemain baru emas,” katanya. “Harga emas memang naik dan turun, namun kecenderungannya atau overall– naik.”
Fenomena ini, saat masyarakat mulai berminat pada emas, bisa menjadi indikator literasi keuangan dan investasi yang meningkat. Sri beranggapan bahwa media sosial memungkinkan orang untuk mengakses informasi dengan lebih luas. Bagi yang hendak mencoba membeli emas sebagai instrumen investasi, Sri menyarankan untuk mencari informasi atau bertanya kepada yang lebih ahli.
“Masing-masing instrumen investasi ada plus minusnya, emas salah satu pilihan yang baik, tapi tidak selikuid deposito, ada juga kemungkinan harganya di potong dan sebagainya. Intinya siapapun silakan yang ingin alihkan investasinya ke tanah, emas, lainnya. Tapi tetap hati-hati dan bertanya pada orang yang lebih tahu,” kata Sri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Berita Google